Selasa, 17 Maret 2009

Memandang Dirinya...

Dunia ini gelap...
Dan cahaya sangat berharga.
Mendekatlah sobat-sobatku yang tersayang karena aku akan menceritakan kisahku.
Untuk seseorang ... Yang meminta cerita nyata paling jujur yang biasa-biasa saja.
Kisah tentang pahlawan yang biasa-biasa saja.
Kisah yang sangat kecil di dunia, tetapi kelas dunia bagi diriku.
Aku berterima kasih kepadanya karena memberikan akhir pekan yang damai, memberikan ketenangan pikiran, menerangi jalanku, memberikan rasa aman, memberikan semangat dan melarangku menyerah.
Seperti kata Shakespeare “Demi surga, saya mencintai, dan cinta mengajari saya untuk bersajak serta menjadi melankolis”.
Iya, betul, aku bukanlah penulis, bahkan di saat aku menuliskan tentang ini aku masih bukan seorang penulis amatiran, tetapi setidaknya karena cinta, aku telah menjadi melankolis.
Saat itu adalah sore.
Matahari baru akan terbenam dan sinarnya begitu lembut, sinar matahari sore yang lembut bercampur dengan udara yang sejuk setelah hujan membuat suasana hati seperti daun talas dengan lapisan lilinnya yang tidak bisa basah oleh cairan-cairan masalah dan kesedihan, setidaknya sepanjang sore itu...
Sinar yang seakan-akan aku minta secara khusus kepada sang pusat tata surya bahwa aku akan berada di suatu tempat, ditemani oleh seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, di sana menikmati keheningan akhir pekan dan kebahagiaan yang tidak bisa dideskripsikan.
Aku berdiri di atas jembatan.
Mengarahkan konsentrasi sensor motorikku pada 2 hal, kepada benang kailku yang senantiasa bergerak di atas permukaan air, pantulan yang menyerupai lukisan bergerak pada permukaan air adalah diriku yang sedang memperhatikan dirinya.
aku melihat diriku sendiri selalu sibuk menyesuaikan benang kailku dengan arus air yang bergerak mengalir ke depan.
Samar-samar bayangan mataku memandangi dirinya, memandang tatapannya, tatapannya yang sesekali mengarah juga pada diriku, kepada titik temu benang kail di permukaan air, kepada sosok seorang anak yang masih kecil yang bermain dengan permainan solonya yang egois, melemparkan ikatan batu ke dalam air dan menimbulkan riak besar, menarik lalu melemparkannya lagi.
Bergiliran kami memandang permainan yang memang dibutuhkan imaginasi tinggi taraf anak kecil untuk bisa menikmatinya, yang bagi kami adalah permainan putus asa, sesekali sembari membetulkan posisi kailku, terkikik-kikik yang menandakan kami menikmati kelucuan itu.
Aku masih dapat melihat dirinya duduk di atas dudukan dari semen, yang sebenarnya difungsikan sebagai wadah untuk menanam beberapa pohon ukuran sedang yang cukup rimbun.
Sinar matahari yang tidak terik menerobos dedaunan dan buah-buah kecil yang tidak jelas dari pohon yang ditanam di wadah tempat dia duduk, menimpa wajahnya yang lonjong dan membiaskan kesan kerinduan yang luar biasa, raut wajahnya yang kerap hadir di dalam mimpi kini bersinar begitu nyata membalas tatapanku, meski tatapannya kurang tajam seperti yang biasa ditunjukkannya, tampak sedikit sayu karena kelelahan, kosong dan selalu menaruh kecurigaan pada setiap bunyi kendaraan yang melintas di belakangnya. Mungkin saja dia curiga dan akan marah jika ada yang akan merusak acara kecil kami sore itu. Aku masih bisa melihat telinga mungilnya yang menempel sempurna dan dagunya yang runcing, bagian kecil dari wajahnya yang indah meskipun tanpa tersenyum sekalipun, tanpa tatapan yang tajam.
Sinar matahari sore itu sesungguhnya semakin mendramatisir visualku menatap mengagumi dirinya, menikmati setiap detik berjalan seiring intensitas cahaya yang semakin berkurang, yang tentu saja tetap tidak mengurangi sedikitpun keindahan dirinya, hampir tidak ada pemandangan yang sia-sia dari dirinya, seperti menikmati makanan setelah seharian menahan rasa lapar dan tidak membiarkan bersisa.
“Hayo, kita pulang, sudah gelap....”
Pertanyaan yang tertinggal dalam diriku sendiri sepanjang jalan, apakah keindahan dirinya yang kulihat sore itu berbanding lurus dengan keindahan cintanya untuk diriku. Ketakutan tetap saja selalu membayangi, saat sore mulai berlalu dan saat bumi akan kembali gelap...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar